Cerpen : Jembatan Layang Julia
Jembatan
Layang Julia
Takdir,
seperti
tersiram air,
seberapa
keras kau menghindar pada akhirnya kau tetap basah kuyup.
Genap lima tahun, busana hitam putih
itu tak bosan melekat pada tubuhnya. Putihnya tak pernah kusam bahkan hitamnya tak
pernah memudar. Karena setiap pergantian tahun ia berusaha memperbaharuinya
walau terjerat minimum dana. Ditambah lagi dengan stofmap berwarna coklat lecek
karena selalu ia genggam dengan erat menuju tempat yang diyakini bisa menghasilkan
pundi-pundi rupiah dan tak juga pernah berhasil. Sempurna jika dijuluki Julia
si gadis pengangguran ibukota.
Tak peduli seberapa keras ia mencoba
memperbaiki takdir, Tuhan tidak pernah memberinya kesempatan untuk hadir
sebagai manusia yang pandai mensyukuri takdir. Lima tahun hidup dengan
penolakan, sebab kertas – kertas yang telah ia kirimkan tak pernah sampai pada-Nya.
Doa – doa itu lenyap tak menuai harap. Di jembatan layang ini ia kerap mengadu
pada semut – semut, lampu perkotaan, angin malam, bulan dan para staffnya;
“Tuhan,
bagaimana bisa aku hidup tanpa diberi satu kesempatan lagi ?,”
Di
jembatan layang ini, gadis malang yang hampir terbang ke Paris lima tahun silam
sepakat menggantungkan segala kesedihannya di tempat yang tak bertuan dan bahkan
ia sudah menyebutnya dengan nama ‘Jembatan Layang Julia’. Pada setiap malamnya
ia menangis pantang tertawa. Ia bernama Julia, dulu ia seorang designer di Sekolah
kejuruannya. Terkenal karena kemampuan mendesain pakaian yang setara dengan
style Eropa. Saat ini ia tak lagi bisa karena musibah yang menimpanya membuat
tangannya kaku. Ia tak lagi bisa menggambar dan kehilangan semangatnya.
Ia
pernah hampir ke Paris, kota yang ia impikan sejak kecil. Kota dengan keunikan
monument dan arsitektur. Kota yang ia taruhkan harapannya sebagai penghasil
masa depan yang cemerlang untuk Julia. Harapannya, ia akan berjalan diantara
bangunan bernuansa neo-klassik bersama kekasihnya. Memandang Menara Eiffel dari
kejauhan sembari mengirimkan sebuah ciuman. Lagi dan lagi kegagalan
menyertainya karena masalah kecil yang jadi besar, hidupnya dipengaruhi oleh
kelamnya masa lalu.
Pada
umur dua puluh tahun, keegoisan selalu menghiasi otak yang menganggap dirinya telah
dewasa. Buntu dan tidak pernah memiliki titik temu. Ia mengalami kecelakaan
dihari sebelum pemberangkatannya ke Paris. Saat itu ibunya sudah mewanti-wanti ‘jangan
pecicilan keluar rumah dihari sebelum impianmu terwujud’. Tapi Julia si gadis
scorpio yang keras kepala tidak akan mengurungkan niat yang sudah menggantung
pada ubun-ubunya. Ia menerjang, ia kabur untuk menemui kekasihnya dengan alasan;
“Kita ini bakal LDR-an mah, jadi harus bertemu sebelum berpisah”
Karena
pertemuan itu, mimpinya karam dan kekasihnya menghilang dengan alasan fokus
study. Alasan remaja yang klise. Julia tersadar dari lamunan panjangnya, ia
duduk mematung di jembatan layang menatap jalanan perkotaan yang berada tepat
di bawahnya. Melihat dengan saksama orang – orang yang berlalu lalang dengan
wajah yang cukup sumringah, mereka sepertinya sedang mendapat kesempatan dari
Tuhan untuk hadir dalam sebuah kebahagiaan.
“
Zodiakmu apa ?”
Datang
seorang yang tak dikenal namun tampan. Cowok dengan celana jeans hitam,
badannya dibalur hoodie hitam, sepatu convers yang sudah lusuh abu-abunya dan
tas ransel hitam dibalik punggungnya. Style rambutnya gondrong dikuncir asal. Cowok
itu menyodorkan sebuah sepatu milik Julia yang terjatuh di bawah jembatan
layang, mungkin Julia tidak menyadarinya. Ia sibuk iri dan overthinking.
“See...s..scorpio
mas.” Julia menjawab dengan tercengang, bukan karena
ketampanannya. Hanya saja ia kaget kenapa sampai tidak tersadar jika sepatunya
terjatuh.
“Pantas
aja galau.” Singkatnya, ikut duduk bersama.
“Sok
tahu?” ketus Julia.
“Aku
tidak pernah menemukan perempuan scorpio yang baik – baik saja.”
Ucapnya sembari membuka sekaleng minuman soda yang diminumnya dengan gagah
sendirian.
“gemini
ya mas?” Tebak Julia.
“sok
tahu!” jawabnya.
“Kalau
bukan gemini, mungkin malaikat maut” Sahut Julia.
“Yaoi,
ini mau cabut nyawamu. Mau langsung sekarang atau besok habis lebaran?”
Ucap pemuda misterius itu.
Julia
melotot ke arahnya, “Aku takut mati walau ingin mati.”
“Kalau
begitu, hidup sampai mati aja.” Sahutnya. Julia,
menghiraukan ocehanya dan mengeluarkan sebatang rokok dari dalam sakunya.
Kemudian menorehkan bara pada ujungya lalu menghisapnya.
“Namaku Arfin Resya, suka mabok dan keluyuran”
Julia menghembuskan nafas berat,
atas dasar apa Tuhan mempertemukannya dengan orang yang bahkan masa depannya
saja gatau mau dibawa kemana. “Aku Julia KO, Pengangguran lima tahun, mantan
designer dan suka mabok juga sih tapi mabok penolakan.”
“Namamu ada K.Onya sih makanya
nggak hoki.” Arfin melontarkan candaan yang garing tapi menusuk laring,
fakta yang memang faktual.
“Bacanya KO bukan K.O.” Julia mengkoreksi.
Cukup membuat Julia senang dan kesal
dalam satu waktu. Ia membantu Julia meredakan segala pikirnya yang sempat
padat. Pikiran yang padat itu berisi penyesalan, ketakutan dan sebuah
ketidakmajuan. Ternyata, kehadiran Arfin cukup membantu Julia mengendalikan
rasa percaya dirinya sebab penolakan –
penolakan yang tak berujung. Bahwa hidup tidak pernah mengkhianati usaha namun
Tuhan memang belum memberikan kesempatan kedua bagi dirinya.
“Aku melamar kerja setiap hari,
dan hanya tidur selama lima jam untuk membuat beberapa lembar surat lamaran
yang baru, tapi tetap saja ditolak, menurutmu apakah Tuhan adil?” Julia
mengalirkan pembicaraan tentang dirinya.
“Adil kok, seharusnya kamu berusaha
lebih keras.”
“Aku
telah bekerja sangat keras, sampai aku ingin mati. Lima tahun ini aku menahan
diri dari melakukan apa yang ingin aku lakukan dan apa yang orang lain lakukan,
aku bahkan tidak sempat mengganti warna pakaianku selain warna putih dan hitam
ini. Aku bahkan tidak bisa menikmati mie indomie dan seplastik es teh saat aku
istirahat. Kenapa aku dalam kekacauan ini?
Arfin
menghabiskan soda terakhirnya, “Bagaimana mungkin kau bisa berusaha lebih
keras? Apa lagi yang bisa kau lakukan? Kau melakukan yang terbaik Julia, hanya
saja tidak diberi kesempatan.”
“Kisah
malang di jembatan layang.” Singkat Julia.
“Kamu
sering ke sini ya sepertinya, beberapa hari ini aku sering melihatmu bergelantungan di jembatan
layang ini sendirian.” Tanya arfin.
“Iya,
aku sering ke sini setiap malam. Sudah terhitung lima tahun ini, hanya saja aku
suka dengan jembatan. Dulu aku mempunyai harapan jika sudah sampai Paris aku
akan mengunjungi sebuah jembatan harapan yang terkenal di sana. Konon katanya,
apapun yang diungkapkan di atas jembatan dan menguncinya dengan ciuman mampu
menjadi kenyataan. Aku membayangkan ini seperti di paris.”
Tiba
- tiba Arfin mengeluarkan kanvas dan tinta yang ada pada tas hitamnya. Ia
memberikannya pada Julia, “Tuliskan satu kalimat yang akan menjadi motivasi
untuk mu setiap bergerak , agar kau selalu ingat. Tempelkan kanvas itu pada
dinding kamarmu.”
Julia
menorehkan tintanya membentuk kalimat ‘Slowmotion’ dan gambar emoticon senyum.
“Tinta
permanen - kanvas terakhir, semoga perjalanan hidupmu setelah ini seperti itu,
dengan semangat yang tak pernah luntur dan tidak akan berakhir walau ditentang
takdir.” Jelas Arfin menceritakan filosofi tinta permanen dan
kanvas terakhirnya. Ia seperti Wira negara yang pandai melilitkan kata – kata indah
dan bermakna.
Julia
hanya tersenyum melihat langit semakin gelap yang perlahan meredupkan mata
sipitnya.
Slowmotion,
dalam
mimpi yang pudar,
bergeraklah
melambat seperti awan yang terkumpul dengan indah pada akhirnya.
Komentar
Posting Komentar